http://ift.tt/20kt43r - Berita Terbaru Terkini Hari Ini - Kisah pilu Fidelis Ari Sudarwoto sebagai tersangka kepemilikan ganja baru-baru ini memang menghebohkan media sosial.
Ari merupakan tersangka kepemilikan 39 batang ganja yang tengah diamankan oleh Badan Narkotika Nasional Kabupaten (BNNK) Sanggau selama 33 hari.
Selama masa penahanan itu, Ari meninggalkan dua anak dan seorang istri yang lemah karena penyakitnya.
Ia telah berupaya membawa Yeni Riawati berobat ke dokter, rumah sakit terkenal, hingga menjalani pengobatan internasional.
Karena peristiwa tersebut, diketahui Ari sengaja menanam ganja untuk kepentingan pengobatan Yeni.
Namun takdir berkata lain, Yeni akhirnya meninggal dunia karena penyakit Syringomyelia yang dideritanya.
Hal menarik di sini adalah inisiatif Ari yang akhirnya menemukan alternatif pengobatan dengan menggunakan ganja.
Diketahui kepemilikan, penanaman, serta konsumsi ganja atau mariyuana (cannabis) dianggap ilegal di banyak negara termasuk Indonesia.
Mengutip Wikipedia, ganja merupakan tumbuhan budidaya penghasil serat.
Dikenal sebagai obat psikotropika karena adanya kandungan zat tetrahidrokanabinol (THC) yang dapat membuat pemakainya mengalamai rasa senang yang berkepanjangan tanpa sebab.
Namun, tanaman tersebut sudah dipakai dalam dunia pengobatan selama ribuan tahun silam.
Melansir Kompas.com, ganja dianggap sebagai tanaman herbal oleh para tabib di zaman nenek moyang.
Ganja dianggap sebagai obat manjur untuk menghilangkan rasa nyeri hingga kecemasan.
Hemp (salah satu jenis tanaman ganja yang efeknya lebih ringan dari mariyuana) sejak zaman kuno sudah merupakan produk agrikultir yang dimanfaatkan untuk dipakai sebagai minyak, diambil bijinya, serta seratnya digunakan untuk membuat tali dan pakaian.
Negara pertama yang dikabarkan menjadi memanfaatkan hemp adalah Tiongkok.
Mereka menanam hemp untuk makanan dan juga manfaat lainnya.
Dari Tiongkok pula tanaman ganja dimanfaatkan sebagai obat yang kemudian diperkenalkan ke negara-negara lain.
Ganja sebagai obat penghilang nyeri dan penyakit lainnya itu kemudian menyebar ke Asia sampai Timur Tengah dan Afrika.
Menurut legenda China, Kaisar Shen Neng (2737 SM) merupakan pemimpin yang secara resmi meresepkan teh mariyuana untuk pengobatan.
Di masa itu ganja dipakai untuk menghilangkan nyeri dan mengobati berbagai kondisi, termasuk asma urat, rematik, malaria, dan daya ingat lemah.
Tapi dokter mengingatkan pasiennya untuk tidak menggunakannya secara berlebihan karena mereka percaya hal itu bisa membuat seseorang "melihat setan".
Berbeda dengan dunia Barat dan beberapa negara Asia seperti Tiongkok dan Jepang, sejak dahulu India paling dekat dengan penggunaan ganja, baik untuk pengobatan, upacara keagamaan, rekreasi, dan spritiual.
Penggunaan ganja pada Abad Pertengahan
Ganja merupakan obat yang populer di Timur Tengah selama abad pertengahan.
Banyak muslim yang merokok hashish (kata Arab untuk mariyuana), yang juga disebut sebagai 'rumput'.
Orang-orang Arab pun memanfaatkan ganja dalam bentuk pengobatan.
Begitu pula bangsa Eropa menggunakan ganja untuk mengobati tumor, batuk, dan penyakit kuning.
Namun, para tabib dan herbalis pada abad pertengahan tersebut juga telah memeringatkan bahaya ganja jika digunakan secara berlebihan, karena bisa menyebabkan kemandulan dan bahaya lainnya.
Spanyol mulai membawa ganja ke Amerika Utara saat era memasuki tahun 1500-an.
Namun selama kolonialisme hanya hemp yang dimanfaatkan dalam industri maritim untuk baju, kertas, ataupun tali.
Penggunaan ganja pada Zaman Modern
Pada akhir tahun 1700-an, jurnal medis Amerika menuliskan penggunaan biji hemp dan akarnya untuk mengatasi masalah kesehatan, seperti peradangan kulit dan kehilangan kesadaran.
Pada tahun 1906 Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA), mengeluarkan aturan penggunaan ganja karena semakin banyaknya orang yang kecanduain heroin, opium, dan morfin.
Namun pada saat itu yang diatur sangat ketat adalah penggunaan opium dan morfin, sementara mariyuana tidak.
Pada tahun 1970-an mariyuana mulai dikategorikan sebagai zat berbahaya dan tidak boleh digunakan untuk kepentingan pengobatan.
Meski berbagai medis menyebutkan manfaat medis ganja, tapi pemerintah AS tetap melarangnya.
Meski demikian, pada tahun 2015, 23 negara bagian di Amerika Serikat melegalkan penggunaan ganja dalam dunia medis, namun hanya untuk orang dengan kondisi medis tertentu.
Kemudian ganja diperbolehkan untuk anak-anak pengidap epilepsi atau untuk menghilangkan efek samping kemoterapi pada pasien kanker.
Beberapa negara bagian juga mengizinkan pemakaian ganja untuk pasien HIV/AIDS, parkinson, atau multiple sclerosis.
Riset mengenai ganja sangat terbatas karena pembatasan pemakaian tanaman ini sebagai obat, namun studi-studi terbaru berhasil mengeksplorasi aspek pengobatan dari mariyuana, khususnya untuk penyakit terkait fungsi otak.
Studi tahun 2015, menyimpulkan ganja efektif mengatasi skizofrenia.
Penelitian juga mengungkapkan ganja membantu memulihkan tulang yang retak, menghentikan kejang yang berat, hingga mengobati migrain.
Hampir 90 persen pengguna di negara bagian Amerika Serikat yang mengaku gangguan penyakit mereka berkurang.
Beberapa fakta mengenai ganja
Meski pelegalan ganja ini masih terus mengalami pro dan kontra, ada beberapa fakta mengejutkan dari manfaat ganja seperti yang dilansir dari laman Human Health berikut ini!
- Ganja negatif memengaruhi kemampuan mengemudi
The British Medical Journal menunjukkan bahwa pengemudi yang mengkonsumsi ganja tidak akan menyebabkan tabrakan atau kecelakaan, sebagiamana orang-orang yang mengkonsumsi alkohol saat mengemudi.
- Ada 200 kata slang untuk ganja
Ganja memiliki nama ilmiah Cannabis, namun ganja juga memiliki nama-nama lainnya yang menggunakan bahasa slang.
Yang paling banyak menggunakan bahasa slang untuk ganja adalah Amerika Serikat, contohnya seperti, pot, maui wowie, weed, gulma, hash, ganja, dope atau green stuff.
Untuk Indonesia juga memiliki bahasa slang untuk ganja ini seperti cimeng, baks, skab, jame, jamkry, atau gele.
- Orang yang mengkonsumsi ganja keci kemungkinannya mengalami kerusakan jaringan otak dibandingkan dengan mereka yang mengkonsumsi alkohol.
Penelitian ini dilakukan oleh ahli syaraf di University of California, San Diego kepada 92 orang dari kelompok usia dari 16 sampai 20 tahun yang memiliki sejarah peminum alkohol dan konsumsi ganja.
Penelitian berlangsung hampir selama satu setengah tahun, otak peserta dipindai sebelum dan sesudahnya dan pantang obat dibatasi dari kedua kelompok.
Hasil penelitian menunjukkan penurunan kesehatan jaringan otak yang dialami oleh peserta yang minum alkohol dalam seminggu sebanyak dua kali atau lebih.
Kondisi berbeda dialami oleh peserta yang memakai ganja sebanyak 9 kali dalam seminggu.
Scan otak pengguna ganja tidak menunjukkan perubahan dalam kesehatan jaringan otak mereka (Tribun)