PERAWANGPOS -- Seorang wanita Muslim menilai jalan-jalan di Amerika Serikat tidak lagi aman baginya yang mengenakan jilbab, terutama setelah Donald Trump terpilih sebagai presiden melalui pilpres pekan lalu. Menurutnya, retorika yang diluncurkan selama masa kampanye telah menebarkan ketakutan dan kebencian bagi umat Muslim di negara itu.
Alaa Basatneh, seorang penulis seputar isul keadilan sosial untuk situs media berita dan budaya, Fusion , tinggal di Miami dan telah mengenakan jilbab selama 12 tahun terakhir. Namun, ia memutuskan untuk menanggalkan jilbabnya dan mengenakan topi ketika ia keluar rumah pada Rabu (17/11), sepekan setelah Trump mendulang mayoritas suara pemilih dalam pilpres.
"Tidak lagi aman untuk berjalan di daerah ini dengan mengenakan jilbab," katanya.
Basatneh kemudian menceritakan pengalaman pahitnya mendapat perlakuan dikriminatif dari sesama warga AS. Ketika tengah menunggu di ruang tunggu sebuah rumah sakit, seorang pria kulit putih yang lebih tua dan duduk di dekatnya mengeluarkan pisau saku dan meletakkannya di kursi kosong di antara mereka.
"Saya merasa terancam. Saya kaget. Dan saya seperti sedang menunggu untuk ditusuk hanya karena saya mengenakan jilbab," tuturnya.
Basatneh mengatakan bahwa ketika pria itu berdiri dari tempat duduknya, ia berkata "deportasi saja mereka semua" sambil berjalan melewatinya. Lebih buruk lagi, tidak ada satupun warga lainnya di ruangan itu yang bereaksi atas ujaran kebencian yang dilontarkan pria itu.
"Ada sekitar 20 orang di ruangan itu. Dan semua orang hanya lanjut berbicang saja, seolah tak ada yang terjadi," katanya.
Ia menilai ujaran kebencian yang diluncurkan pria itu maupun ketakutannya tumbuh dari sejumlah retorika Trump yang dinilai anti-Muslim. Pasalnya, konglomerat asal New York itu kerap menyerukan pelarangan masuk AS bagi seluruh umat Muslim, dengan dalih mencegah penyusupan teroris.
Belakangan, ia menyerukan tes ideologi yang ketat bagi warga Muslim yang ingin menginjakkan kaki di Negeri Paman Sam itu.
"[Trump] benar-benar membuka luka besar dalam komunitas Muslim. Dan bagi saya, secara pribadi, saya pikir dia perlu meminta maaf atas apa yang dia katakan. Dan... meyakinkan komunitas Muslim bahwa kita akan aman," tutur Basatneh.
Basatneh mengaku kerap kali menerima perlakuan diskriminatif maupun ujaran kebencian sebelumnya, tapi tak pernah melibatkan senjata. Ia pun punya saran bagi warga Amerika terhadap tetangga mereka yang Muslim.
"Kenali tetangga Muslim Anda. Kenali lebih jauh tentang Islam ... kalian akan tahu bahwa kami mengulurkan tangan dan terbuka," ujarnya.
Dalam wawancara dengan CNN yang ditayangkan pada Minggu (13/11), Trump meminta pendukungnya untuk menghentikan aksi diskriminatif dan melecehkan kaum minoritas. Meski demikian, sejumlah kasus Islamofobia dan xenofobia muncul selama sepekan terakhir.
Kasus yang menyiratkan sentimen Islamofobia muncul di New York University (NYU) Tandon School of Engineering pada Kamis (10/11) lalu. Menurut otoritas kampus, sejumlah siswa menemukan nama presiden AS terpilih itu tertulis di depan pintu ruang ibadah bagi umat Islam di gedung kampus mereka.
Kasus lainnya terlihat dari grafiti berbau rasisme di salah satu dinding kamar mandi di gedung sekolah Minnesota High School. Tulisan yang terpampang di pintu kamar mandi sekolah itu bertuliskan "hanya untuk kulit putih", "Amerika kulit putih", dan "Trump".
Sumber : CNN